Perkembangan Islam di Negeri Sakura

Kaum Muslim Pertama yang Masuk Jepang

Kaum Muslim bermigrasi ke Jepang melalui pelaut dari Yaman dan Malaysia yang bekerja di kapal Inggris dan Belanda. Sejak tahun 1865, sejumlah Muslim dari Arab, Turki, dan India tinggal di Jepang; beberapa dari mereka adalah pedagang ekspor-impor. Tercatat diantaranya ialah Abu Bakar, Sultan Johor, yang pada tahun 1885, adalah kalangan muslim pertama yang mengunjungi Jepang. Mereka berinteraksi dengan Kaisar Meiji dan tokoh politik Jepang.

Abu Bakar tiba di Kobe pada bulan Mei tahun 188. Dia melakukan perjalanan ke kota-kota seperti Osaka, Kyoto, Yokohama, dan Tokyo untuk melihat kuil, wihara, dan kastil. Abu Bakar kemudia meninggalkan Jepang pada bulan Agustus tahun 1883.

Pada awal abad ke-20, beberapa Muslim asing yang tinggal di Jepang mulai memperkenalkan Islam ke masyarakat Jepang. Namun, hanya segelintir etnis Jepang yang mulai bersedia masuk Islam. Kontak antara Islam dan Jepang tidak konsisten selama bertahun-tahun, bergantung pada keadaan politik dan kepentingan ekonomi yang bervariasi dari masa ke masa.

Hal ini tentu saja mempengaruhi posisi umat Islam di Jepang. Di sisi lain, ada juga orang Jepang yang mengenal Islam saat bepergian ke luar negeri dan bertemu dengan orang Muslim.

Orang Jepang Pertama yang Menjadi Muslim

Orang Jepang yang menjadi Muslim pertama adalah Abdul Halim Shotaro Noda (1868-1904) diikuti oleh Muslim Jepang kedua yaitu Torajiro Yamada. Noda dan Yamada masuk Islam setelah tiba di Istanbul.

Noda mempelajari Alquran, Hadits, dan sejarah Islam; namun, tidak jelas apakah Yamada juga melakukan hal yang sama seperti Noda. Yamada lebih mengandalkan sepenuhnya pada Noda sejak awal karena menurut Yamada Islam adalah urusan pribadi. 

Muslim yang lain yaitu Bunpachiro Ariga (Ahmad), yang masuk Islam di Bombay, India, pada tahun 1900. Ariga melakukan segala upaya untuk menyebarkan tentang Islam kepada orang-orang di sekitarnya sampai pada akhirnya wafat pada tahun 1946. Sebelum wafat, dia menerbitkan buklet Islam dan menerjemahkan mengenai makna Al-Quran. 

Masjid Pertama di Jepang

Meskipun sudah ada beberapa Muslim di Jepang, dapat dikatakan bahwa komunitas Muslim pertama di Jepang terbentuk ketika sebagian besar imigran Turki masuk ke Tokyo dan Kobe. Selain imigran Turki juga hadirnya sejumlah pedagang Muslim dari India ke Kobe dan membentuk komunitas Muslim. Komunitas ini mendirikan masjid Kobe pada tahun 1935 hasil dari dengan dukungan para pedagang India.

Selanjutnya pada tanggal 12 Mei tahun 1938 komunitas Muslim di Tokyo mendirikan masjid Tokyo Jaamii (東京ジャーミイ) juga dikenal sebagai Tokyo Camii.

Masjid Tokyo dibangun oleh orang Turki keturunan Bashkir dan Tatar yang melarikan diri ke Jepang. Pendirian masjid Kobe dan masjid Tokyo Camii menjadi simbol kehadiran Islam dan umat Islam di Jepang.

Ryoichi Mita (Umar Mita) penerjemah Al-Quran dalam Bahasa Jepang

Berdasar catatan yang ada, Mita terlahir sebagai Ryoichi Mita. Dia dilahirkan pada 19 Desember 1892. Keluarganya merupakan Buddha Samurai (prajurit) kota Chofu di Yamaguchi, Jepang.

Mita lulus dari Perguruan Tinggi Yamaguchi pada Maret 1916. Dia lantas mengunjungi Cina dan belajar bahasa Cina, berhubungan dengan Muslim Tionghoa dan menyukai cara hidup mereka. Pada tahun 1920, ketika berusia 28 tahun, Mita menulis artikel "Islam di China" di sebuah majalah Jepang bernama "Toa Keizai Kenkyu" (Jurnal Riset Ekonomi Timur Jauh).

Mita pernah berjumpa dengan Haji Omer Yamaoka. Omer Yako ialah Muslim Jepang pertama yang berhasil  menunaikan ibadah haji. Setelah kembali ke Jepang pada tahun berikutnya, Yamaoka memulai perjalanan melintasi pulau-pulau Jepang untuk memperkenalkan dan menjelaskan Islam. Pada tahun 1912, Yamaoka menulis dan menerbitkan sejumlah buku tentang perjalanannya melintasi Arab dan cerita mengenai haji di Makkah.

Pada tahun 1921 Mita bertemu lagi dengan Yamaoka untuk belajar lebih banyak tentang Islam. Akhirnya, Mita memeluk Islam pada tahun 1941 dalam usia 49 tahun.

Pada usia 60 tahun, Mita memilih  mengabdikan dirinya untuk Islam dan belajar bahasa Arab. Pada tahun 1957, ia diundang datang ke Pakistan, dan melakukan berbagai perjalanan sehubungan dengan kegiatan dakwah. Pada tahun 1958, ia melakukan haji.

Pada tahun 1960, Presiden Pertama Asosiasi Muslim Jepang yang bernama Sadiq Imaizumi meninggal secara mendadak. Mita lah yang kemudian terpilih sebagai presiden kedua asosiasi tersebut.

Selama masa jabatannya sebagai presiden, dia menulis buku "Understanding Islam" and "An Introduction to Islam". Mita juga menerjemahkan buku Hayat-e-Sahaba karya Maulana Muhammad Zakaria (Life of the Companions) dalam bahasa Jepang.

Saat itu, di Jepang ada tiga terjemahan Al-Quran berbahasa Jepang yang diterbitkan masing-masing pada tahun 1920, 1937 dan 1950. Sedangkan terjemahan keempat yakni dengan menggunakan bahasa Arab asli. Itu diterbitkan pada tahun 1957. Tapi semua Al-Quran terjemahan bahasa Jepang itu yang menerjemahkan adalah sarjana Jepang non-Muslim.

Mita adalah Muslim pertama yang menerjemahkan Alquran dalam bahasa Jepang. Pada tahun 1968, terjemahan teks tersebut selesai dan revisi pertamanya diterima Asosiasi Muslim Jepang. Pada bulan Juni 1970, Mita menyerahkan manuskrip yang telah direvisi ke Liga Muslim Dunia di Makkah.

Naskah tersebut diperiksa secara menyeluruh oleh komite sarjana dan setelah sekitar enam bulan, karya tersebut akhirnya disetujui untuk dicetak oleh Perusahaan Percetakan Takumi Kobo di Hiroshima.

Akhirnya pada tanggal 10 Juni 1972, pencetakan terjemahan Al-Quran dalam bahasa Jepang selesai. Edisi pertamanya tersebut diterbitkan setelah 12 tahun usaha keras Mita. Ini adalah kesempatan yang menggembirakan bagi Mita karena usahanya sukses meski kala itu dia telah berusia 80 tahun. Mita sendiri menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1976. Kala itu, dia telah menginjak usia 84 tahun. (*)

Referensi:

Sumber: The International Conference on Islam in Asia and Oceania International Islamic University, Malaysia 9-11 October 2012
Dalam makalah yang berjudul Understanding Islam in Japan - a Historical Perspective Disampaikan oleh Prof. Dr. Samir Abdel hamid Nouh Deputy Director of Center for Study of Monotheistic Religions (CISMOR), Doshisha University, Kyoto Japan