POJOKNULIS.COM - Bulan Ramadhan adalah bulan suci umat Islam yang paling dinantikan setiap tahunnya. Bulan ini memberikan banyak hikmah bagi umat muslim, dan salah satunya adalah mengajarkan hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan.
Tetapi banyak yang justru mengalami pengeluaran yang semakin boros di bulan ini. Kok bisa seperti itu?
Secara logika, makan dua kali dalam sehari, yakni waktu sahur dan waktu berbuka harusnya akan mengurangi budget kita untuk makanan.
Misalnya saja jika sekali makan menghabiskan 15 ribu rupiah, maka dua kali makan hanya menghabiskan 30 ribu rupiah dalam sehari.
Tetapi fakta di lapangan tidak demikian. Sehari kadang bisa habis lebih dari 50 ribu rupiah untuk sahur dan berbuka.
Faktor-faktor Pemborosan
Euforia bulan suci Ramadhan memang memberikan kekuatan tersendiri untuk memengaruhi tindakan manusia, dalam hal ini khususnya umat muslim yang menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Euforia ini seringkali diwujudkan dengan cara yang salah, yang bisa saja berseberangan dengan spirit utama ibadah puasa itu sendiri.
Seperti yang disinggung di atas, hikmah puasa salah satunya adalah menjadi pribadi yang sederhana dan hidup secukupnya, malah yang terjadi adalah sebaliknya: pengeluaran lebih besar dari bulan-bulan lainnya.
Jika melihat secara jujur, memang tidak bisa serta merta hanya konsumen yang salah. Karena memang ada faktor lain yang turut menyumbang pengeluaran yang besar selama bulan Ramadhan.
Misalnya saja, peningkatan harga bahan pangan yang melambung tinggi. Seperti yang sudah kita ketahui, semakin mendekati hari idul fitri, harga bahan pangan semakin melambung tinggi, terlebih daging-dagingan.
Hal ini memang sudah dianggap wajar karena semakin tinggi permintaan tetapi jumlah barang terbatas, maka biasanya harga yang akan bermain untuk menentukan siapa pembelinya. Tanpa disadari, peningkatan harga ini berperan cukup signifikan pada pengeluaran kita selama bulan suci Ramadhan.
Konsumsi untuk Pangan dan Sosial Meningkat selama Ramadhan
Belum lagi adanya peningkatan konsumsi menu makanan selama bulan puasa. Kalau hal ini, konsumen yang paling berperan dan bertanggung jawab atas kondisi finansialnya sendiri.
Misalnya saja, jika sekali makan biasanya ia hanya menghabiskan 15 ribu rupiah sudah termasuk nasi, lauk dan minuman, tetapi saat bulan puasa, terjadi penambahan menu makanan.
Yang biasanya hanya makan nasi, lauk dan air putih, saat berbuka puasa saja akan ada penambahan menu seperti es buah, kolak pisang, buah kurma, dan aneka tambahan menu lainnya seperti jajan-jajanan.
Dari yang awalnya hanya menghabiskan 15 ribu rupiah dalam sekali makan, bisa sampai 30 ribu rupiah bahkan lebih. Itu hanya untuk berbuka puasanya, belum lagi menu sahurnya.
Dan didorong juga dengan perubahan menu makanan dari menu makanan biasa menjadi menu makanan yang lebih enak dengan dalih sebagai penyemangat puasa. Hal ini tidak salah, tetapi kurang bijak jika hanya didasarkan pada keinginan semata.
Akan lebih bijak jika perubahan menu makanannya lebih ke arah menu-menu makanan yang memang membantu memberikan energi lebih sehingga puasa bisa berjalan lebih lancar tanpa halangan berarti. Misalnya saja makanan yang kaya kandungan seratnya, protein, vitamin, dan lain-lain.
Kita juga mungkin tidak menyadari hal ini. Bukber alias buka bersama juga turut mendorong pengeluaran lebih saat bulan puasa.
Bukber memang tidak hanya sekedar acara makan-makan bersama, tapi kadang juga menjadi acara reuni, sehingga agak berat untuk ditinggalkan karena berkaitan dengan kebutuhan psikologis manusia.
Tetapi setidaknya kita juga harus mengalkulasinya agar kita bisa menyadari apa saja pengeluaran di bulan puasa yang turut menyumbang pemborosan di bulan puasa.
Bukan berarti tidak boleh bukber, tentu saja bukber adalah kegiatan yang sangat positif (selama tidak melalaikan kewajiban yang lain seperti kewajiban shalat maghrib), tetapi dalam konteks ini kita hanya sedang mengalkulasi faktor apa saja yang memengaruhi pengeluaran kita saat di bulan Ramadhan.
Faktor berikutnya yang juga tidak boleh diabaikan adalah pengeluaran yang berkaitan dengan penyambutan hari Idul Fitri. Ya, betul sekali. Mulai dari busana baru baik baju, celana, pakaian ibadah, alas kaki dan lain sebagainya, sampai biaya renovasi rumah. Tentu saja kesemuanya itu tidak menggunakan uang yang sedikit.
Belum lagi jika sifat hedonisme dalam diri kita belum hilang, budaya seperti 'harus' pamer mobil dan motor baru saat Idul Fitri akan dilakukan. Padahal seperti yang pernah penulis singgung dalam tulisan penulis sebelumnya terkait hedonisme, sifat hedon ini akan sangat merugikan kita.
Hanya sekedar mengejar gengsi sosial tapi kerugian yang didapat bisa lebih buruk dari segi finansial. Hanya karena hedon, kita jadi membeli sesuatu yang sebenarnya tidaklah dibutuhkan, dengan uang yang sebenarnya tidak punya, hanya untuk membuktikan kepada orang-orang yang sebenarnya tidak peduli dengan kita.
Solusi dari Pemborosan di bulan Puasa
Nah, untuk menanggulangi permasalahan yang dialami banyak orang, penulis sudah merumuskan beberapa hal di bawah ini:
Pertama, membuat daftar prioritas: kita pisahkan dulu keinginan dan kebutuhan, lalu utamakan kebutuhan yang paling mendesak.
Kedua, persipakan dana ekstra: siapakan dana ekstra dari sebelum bulan puasa agar bisa membantu bilamana ada pengeluaran tidak terduga, seperti reuni buka bersama misalnya.
Ketiga, belanja lebih awal: semisal 'harus banget' beli baju baru, kita bisa mulai mencicilnya dengan membelinya sebelum memasuki bulan puasa sehingga beban pengeluaran tidak terpusat pada saat bulan Ramadhan.
Keempat, buat/tentukan menu berbuka dan sahur yang tepat: penulis sangat menyarankan pada makanan yang memberikan energi lebih bagi tubuh, bukan sekedar enak dan 'lapar mata'.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga dapat memberikan manfaat kepada pembaca. Baca juga artikel-artikel lain di POJOKNULIS.COM seputar Ramadhan dan kajian umum lainnya. Dan selamat menjalankan ibadah puasa! (*)