POJOKNULIS.COM - Ramadhan adalah salah satu bulan yang sangat dimuliakan di dalam Islam dan termasuk bulan haram (bulan yang suci). Bagi umat Islam, bisa dipertemukan dengan Ramadhan adalah sebuah anugerah yang luar biasa karena besarnya keutamaan dan pahala di dalam bulan tersebut.
Bulan yang mewajibkan seluruh umat Islam berpuasa itu memberikan kesan tersendiri bagi umat Islam karena tak jarang perjalanan spiritual seorang muslim mengalami fase keemasannya di bulan ini.
Jika kita berbicara keutamaan bulan ini, tentu seolah tak ada habisnya karena banyaknya ayat Al Qur’an maupun hadits yang membahasa keistimewaan bulan ke-9 dalam kalender umat Islam ini.
Selain diwajibkannya puasa Ramadhan, di bulan ini juga awal diturunkannya ayat pertama dari kitab suci umat Islam, yaitu Al Qur’an. Malam lailatul qadr sendiri pun jika dibedah memiliki banyak keutamaannya sendiri. Tetapi tentu saja tulisan ini tidak berfokus kepada pembahasan itu, kita akan berfokus tentang apa sebenarnya esensi dari Ramadhan.
Sama seperti ibadah yang lain, kewajiban puasa di bulan Ramadhan merupakan ibadah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Di dalam Al Qur’an disebutkan secara jelas bahwa tujuan puasa adalah menjadikan umat Islam bertakwa kepada Allah (Q.S. Al-Baqarah [2]: 183).
Takwa itu pada akhirnya tercermin pada perubahan hati, sikap dan perilaku, bukan hanya sekedar rutinitas ibadah ritual.
Di sinilah poinnya. Betapa banyak umat Islam yang melakukan puasa tapi hanya menjalankannya sebagai sebuah ritual keagamaan dan tidak menjadikannya perjalanan spriritual. Ini yang juga melahirkan dilema kenapa di bulan puasa masih ada orang berbuat jahat dan setelah bulan puasa selesai karakter seseorang tidak mengalami perubahan yang lebih baik.
Memahami esensi puasa sangat penting agar fokus kita tidak salah. Puasa adalah ibadah yang unik dimana Nabi Muhammad saw menjelaskan bahwa ganjarannya langsung dari Allah swt. Allah sendiri yang akan mengalkulasi pahala puasa seorang hamba-Nya.
Ini tidak hanya sebatas tidak makan dan minum dari waktu imsak sampai waktu maghrib, tetapi apa yang terjadi pada hati seorang hamba saat berpuasa.
Ada beberapa ironi yang kadang ditemukan saat seseorang berpuasa, seperti misalnya puasa tetapi marah-marah dan menyakiti orang lain, berghibah, hingga pura-pura berpuasa padahal sudah makan/minum secara diam-diam.
Kita tidak berbicara usia kanak-kanak yang mana itu diwajarkan, tetapi kita berbicara usia mukallaf (orang yang sudah wajib dibebankan hukum agama). Menjadi timbul pertanyaan, puasa kita sebenarnya untuk manusia (gengsi sosial), atau untuk Tuhan?
Ada beberapa fenomena yang penulis garis bawahi dan kiranya membutuhkan atensi khusus agar kualitas puasa kita menjadi semakin baik, tidak hanya sekedar formalitas. Hal-hal berikut ada yang terjadi sudah lama dan ada juga yang didorong oleh pengaruh sosial media. Mari kita kupas.
Pertama, perilaku underestimate kepada orang lain. Perilaku atau sikap yang bertujuan merendahkan orang lain kerap kali tidak disadari umat Islam sebagai sebuah penyakit hati yang terus merusak dan membusukkan hati. Merasa diri lebih hebat, baik, dan berkelas ketimbang orang lain ujung-ujungnya menjadi penyakit hati yang sangat keras dan sulit dihilangkan.
Generasi penulis, Gen Z, adalah generasi yang sudah banyak dicekoki gagasan-gagasan media sosial yang merusak karakter salah satunya adalah afirmasi bahwa merendahkan orang lain adalah hal yang keren.
Betapa 'nyundul langit'-nya seseorang ketika menggunakan iPhone (meskipun harus menyicil setengah mati) dan sangat puas dan bangga bisa merendahkan pengguna smartphone dengan OS Android (yang produknya terkadang lebih baik daripada produk Apple).
Belum lagi budaya pop yang membedakan kehebatan seseorang berdasarkan tempat nongkrongnya dan bersama siapa dia nongkrong (circle-nya siapa). Entahlah, penulis melihat itu seperti sebuah transformasi yang lebih modern perihal konsep kasta.
Kedua, bulan suci Ramadhan adalah bulan yang tepat untuk memperbaiki hati dan sikap. Di bulan ini, baik yang kaya maupun miskin kelaparan bersama dari pagi hingga sore.
Tidak ada yang lebih istimewa di hadapan Allah kecuali tingkat ketakwaannya, dan seperti yang kita tahu, hanya Allah sajalah yang mengetahui siapa yang paling takwa kepada-Nya. Karena takwa adalah persoalan hati, bukan penampilan.
Dan yang sering dilupakan adalah kisah awal iblis diusir dari surga dan dikutuk selamanya oleh Tuhan. Dia dikutuk dengan sangat hina bukan kerena dosa-dosa yang lain, hanya satu dosa, yaitu merasa dirinya lebih hebat dan lebih tinggi dari orang lain (Nabi Adam as).
Maka stop merendahkan (underestimate) orang lain, karena bisa jadi mereka yang kamu olok-olok lebih baik daripada kamu (Q.S. Al Hujurat [49]: 11).
Ramadhan juga menjadi waktu yang baik untuk instrospeksi diri (muhasabah). Setahun sudah berlalu dan mari berkaca pada diri kita apa saja yang sudah kita lakukan selama Ramadhan satu dengan Ramadhan berikutnya. Semakin baik atau semakin buruk? Mari renungkan bersama-sama.
Ketiga, menahan nafsu merupakan salah satu misi berpuasa. Hampir-hampir tidak ada artinya jika kita berpuasa tetapi nafsu tidak bisa kita tahan. Lihat social media Anda dan lihat histori penelusuran, jika ternyata kurang baik, stop itu selama bulan Ramadhan, jika sudah baik tingkatkan.
Menahan nafsu juga berarti stop membeli barang-barang yang sifatnya hedon dan juga menahan nafsu saat berbuka. Berbuka puasa adalah mengisi perut kembali dengan makanan dan minuman untuk memperoleh tenaga untuk beraktivitas dan beribadah, bukan ajang balas dendam karena seharian telah berpuasa. Bukan kenikmatan yang akan kita dapatkan melainkan masalah kesehatan.
Lagi yang harus diberikan atensi khusus adalah puasa adalah untuk Allah, bukan untuk manusia. Langsung saja penulis mengarahkan tulisan ini kepada content creator. Menjadi pembuat konten untuk bulan puasa menjadi kesenangan tersendiri bagi content creator dan menjadi ladang cuan yang menjanjikan. Tapi hati-hati dalam menjaga niat.
Puasa yang kita lakukan dan konten yang kita buat jangan sampai beralih menjadi ingin dipuji orang lain. Ini akan sangat merugikan kita karena seberapa manisnya pujian dan uang yang kita dapatkan, sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan pahala yang kita terima jika kita puasa dan membuat konten puasa ikhlas karena Allah semata. Sebagai sesama content creator, penulis menyadari betul bahwa hal ini sangat riskan pada niat berpuasa kita.
Kemudian Idul Fitri yang berubah menjadi ajang flexing. Ini bukan hal baru karena sedari dulu kebiasaan orang-orang kita memang suka memamerkan 'kesuksesan' mereka saat lebaran.
Bedanya dengan sekarang adalah pamernya tidak hanya di dunia nyata tetapi juga di dunia maya. Ya memang itu hak masing-masing orang dan tidak ada yang bisa men-judge apakah dia seperti itu niatnya riya' atau tidak, karena siapa yang tahu isi hati? Tapi kembali lagi, poinnya adalah kembali ke diri kita masing-masing.
Apakah Idul Fitri akan kita maknai sebagai hari kemenangan melawan hawa nafsu atau kita maknai sebagai ajang menggaet pujian sebanyak-banyaknya dari orang-orang.
Terakhir, after Ramadhan. Apa yang akan kita lakukan setelah Ramdhan? Apakah berpakaian sopan akan kita tanggalkan kembali? Apakah sifat temperamental akan kita terapkan lagi? Apaka hati akan diisi kembali dengan kebusukan-kebusukan? Atau melanjutkan apa yang sudah kita perjuangankan selama bulan Ramadhan? Apakah Ramadhan hanga akan sekedar lewat atau memberikan bekas yang nyata pada karakter kita? Mari renungkan kembali dan pilihan ada di tangan kita.
Kesimpulannya, Ramadhan seyogyanya bisa mengubah kepribadian seseorang menjadi lebih baik jika puasa yang dilakukan ikhlas untuk Allah. Namun itu tidaklah mudah jika kita tidak bisa mengidentifikasi puasa yang kita lakukan apakah untuk gengsi sosial atau untuk memperbaiki akhlak kita.
Renungkan kembali dan mulai memperbaiki diri adalah pilihan yang baik. Berpuasalah untuk Allah, bukan untuk gengsi sosial. (*)