POJOKNULIS.COM - Setiap bulan Ramadhan, umat islam berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan dan sangat memuliakan hari demi hari di bulan tersebut. Pasalnya, banyak sekali fadilah demi fadilah yang Allah berikan, ampunan demi ampunan-Nya terlimpah ruah, peluang untuk mendapatkan rahmat-Nya sangat besar untuk digapai.
Umat islam juga diwajibkan untuk berpuasa selama satu bulan penuh, menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dari adzan subuh sampai adzan maghrib guna melatih hawa nafsu yang ada pada diri manusia.
Momen yang penuh daya magis, bisa kita temui ketika maghrib tiba. Masjid-masjid besar dipinggir jalan kerap membagikan nasi kotak dan takjil. Hal ini menjadi momen yang membahagiakan bagi kaum dhuafa dan kaum perantauan.
Apalagi bagi kalangan mahasiswa yang tinggal di kost, melihat info makan gratis tentu menjadi berkah tersendiri, selain dalam rangka hemat, makanan yang dalam nasi kotak biasanya selangkah lebih nikmat dari pada masakan sendiri yang apa adanya karena tekanan untuk irit.
Dari hal sederhana ini lah, lahir dan bercabang kebaikan-kebaikan yang lain. Umat islam saling berbagi kebahagiaan lewat berbagai cara, manusia-manusia berkhusu-khusyu berdoa, sembari menerka-nerka, kapan sesungguhnya malam lailatul qodr tiba?
Ada banyak fakta dari bulan Ramadhan yang cukup menarik. Sebelum tiba pada point lailatul qodr, pernah kah terlintas dibenak kita, bagaimana awal mula dari perintah berpuasa di bulan ramadhan?
Mari kita selami perlahan, esensi bulan yang penuh berkah mendatang, satu persatu. Kita mulai dari sejarah puasa Ramadhan.
Dilansir dari laman NU Online, awal mula adanya puasa adalah pada saat Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan hijrah ke Yastrib. Ketika masanya, umat muslim diwajibkan berpuasa pada tahun kedua Hijriyah tepatnya bulan Sya’ban.
Sebelum turun perintah diwajibkan untuk berpuasa, Nabi telah menunaikan ibadah puasa pada Asyura persisnya tanggal 10 Muharram. Baru lah ketika ayat perintah untuk berpuasa di bulan Ramadhan turun, Nabi memerintahkan umatnya untuk menunaikan ibadah puasa ramadhan.
Meskipun Raamadhan kemudian telah menggantikan puasa Asyura, sebetulnya, Nabi tetap mengizinkan umat islam jika berkeinginan tetap menjalankan puasa Asyura. Akan tetapi yang dihukumi wajib tetap lah puasa ramadhan, puasa asyura sunah untuk dilaksanakan.
Dilansir dari merdeka.com, fakta lain kilas balik era kanjeng Nabi, yang berkaitan dengan ramadhan adalah, pada saat itu, Nabi melarang umatnya yang sepasang suami istri untuk saling berdekatan.
Hal ini, dilakukan agar terhindar dari hasrat bercinta yang dapat membatalkan puasa. Namun, para sahabat melakukan negosiasi dan menyatakan keberatan akan perkara tersebut.
Sehingga, setelah melalui pertimbangan demi pertimbangan, Nabi akhirnya mengizinkan untuk sekedar saling berdekatan, selagi tidak menimbulkan syahwat yang mengarah kepada hal-hal yang intim.
Nabi kemudian menetapkan memberikan izin untuk melakukan hal-hal yang intim dengan catatan dilakukan pada malam hari, tentu saja setelah berbuka puasa.(*)