Ngaji Pasaran, Sebuah Tradisi Ramadhan di Pesantren yang Masih Eksis

POJOKNULIS.COM – Bagi kalangan santri, mengaji pasaran merupakan hal yang familier dilakukan sebagai tradisi khas bulan ramadhan. Istilah ngaji pasaran, sebetulnya mirip dengan situasi di pasar, ketika penjual menyediakan dagangan yang sesuai dengan kebutuhan pembeli, kemudian pembeli mencari barang yang dibutuhkan dan yang diinginkan lalu membelinya.

Sebagaimana hal tersebut, beberapa pesantren ketika menjelang bulan ramadhan menyediakan ruang untuk santri-santri mengeksplore serangkaian kegiatan mengaji.

Para santri dipersilahkan memilih kitab-kitab yang diminati, untuk kemudian menyelami ilmu demi ilmu yang diinginkan sesuai kebutuhan.

Ngaji pasaran, biasanya dimulai semenjak hari pertama bulan ramadhan, mengkaji kitab-kitab yang sekiranya bisa dikhatamkan hingga akhir bulan ramadhan, atau bahkan sebelum akhir bulan ramadhan, sebab menjelang hari raya idul fitri, santri-santri diizinkan untuk menikmati liburan di rumah masing-masing.

Menariknya, ngaji pasaran boleh diikuti oleh santri mana pun, baik santri yang asli mondok di sana, maupun santri tamu yang menyengaja ‘’tabarukan’’, bahkan santri kalong pun boleh untuk mengambil kesempatan merasakan tinggal di asrama selama bulan Ramadhan.

Bicara soal ‘’tabarukan’’ di dunia pesantren, Ramadhan merupakan bulan yang sakral dijadikan sebagai ladang barokah, santri-santri yang telah ngaji secara paripurna, biasanya memiliki tujuan hidup yang visioner, yakni menempuh perjalanan sowan-sowan dari satu kiai ke kiai lain.

Sementara itu, santri kalong biasanya merupakan istilah bagi pelajar atau mahasiswa yang notabenenya bermukim di rumah atau di kos, kemudian menginginkan upaya tendensi spritual lewat mengaji, memperdalam ilmu agama yang awam dimiliki, sehingga berburu forum kajian yang welcome terhadap keberadaannya.

Beberapa pondok pesantren yang terbiasa dengan tradisi pasaran, tidak jarang yang menyediakan ijazah, lalu di akhir program kegiatan ramadhan, akan dibagikan. Selain demi kejelasan sanad keilmuan, ijazah juga berguna sebagai jejak kenangan penuh makna. 

Salah satu karakteristik yang khas dari pasaran adalah mengkaji kitab kuning karya ulama-ulama terdahulu, sebagai wujud dari melanggengkan budaya kepesantrenan, mengaji kepada guru yang memiliki keilmuan mumpuni di bidangnya secara bermuwajahah bil wujuh, serta beretika.

Di era digital, ilmu agama memang seolah-olah cenderung mudah didapatkan dari media sosial, banyak pula fenomena orang-orang awam yang mendadak menjadi ustadz.

Maraknya teori-teori agama yang disebarkan oleh orang random yang tidak jelas sumbernya, juga sangat beresiko terhadap ajaran-ajaran yang menyesatkan. Maka dari itu, tradisi mengaji dengan memastikan sanad keilmuan yang benar dan terperinci menjadi hal yang penting dan utama.

Kitab yang dikaji ketika pasaran sangat beragam, dari berbagai aspek keilmuan, mulai dari hadist, tarikh, akhlaq, tauhid, nahwu, shorof, fikih, aqidah, sampai tasawuf.

Aktivitas yang dilakukan di pesantren pun terbilang cukup ketat, padat dan diatur secara terstruktur, di mulai dari sebelum sahur, sampai sebelum tidur, seluruhnya diisi dengan kegiatan-kegiatan keagamaan.

Mulai dari sholat tahajud serta qiyamul lail yang lain, sahur bersama, jamaah subuh, dilanjutkan dengan mengaji dan mengaji, istirahat sebentar, mengaji lagi, sampai menunggu waktu berbuka puasa, tadarus al-Qur’an, berdzikir bersama, berdo’a bersama, berbuka bersama, istirahat sejenak, lanjut sholat tarawih, kembali mengaji bandongan, kurang lebih seluruh aktivitas berakhir pada pukul sepuluh atau sebelas malam.

Ngaji pasaran tidak hanya mengajarkan soal perihal ajaran agama, melainkan sekaligus praktik konkrit bagaimana bersosial dengan sesama manusia. (*)

Baca Juga