Benarkah Orang Berkulit Putih Lebih Tahan Terhadap Suhu Dingin?

POJOKNULIS.COM - Suhu dingin dapat menyebabkan berbagai masalah pada kulit, seperti kemerahan, gatal-gatal, hingga radang dingin atau frostbite.

Kondisi ketika kulit dan jaringan di bawahnya rusak atau mati akibat paparan suhu yang sangat dingin disebut itu sangat berbahaya.

Sel jaringan kulit yang mati akibat suhu dingin bisa terjadi di bagian tubuh mana pun, tetapi umumnya lebih sering muncul di area tangan, kaki, telinga, hidung, dan dagu.

Lalu, apakah orang berkulit putih lebih tahan terhadap suhu dingin daripada orang berkulit gelap? Jawabannya tidak begitu sederhana.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan suhu dingin, seperti genetik, adaptasi fisiologis, dan faktor lingkungan.

Faktor Genetik

faktor-gen-kulit-putih.jpg.webp

Salah satu faktor genetik yang berkaitan dengan toleransi terhadap suhu dingin adalah warna kulit. Warna kulit dipengaruhi oleh pigmen melanin yang diproduksi oleh sel-sel melanosit di lapisan bawah kulit.

Melanin berfungsi sebagai pelindung kulit dari radiasi ultraviolet (UV) matahari. Semakin banyak melanin yang diproduksi, semakin gelap warna kulit seseorang.

Orang berkulit gelap memiliki lebih banyak melanin daripada orang berkulit putih. Hal ini membuat mereka lebih tahan terhadap paparan sinar UV yang dapat menyebabkan kanker kulit dan penuaan dini.

Namun, melanin juga menghambat sintesis vitamin D dari sinar UV. Vitamin D adalah zat penting yang dibutuhkan tubuh untuk menjaga kesehatan tulang dan sistem kekebalan tubuh.

Orang berkulit putih memiliki lebih sedikit melanin daripada orang berkulit gelap. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap paparan sinar UV yang dapat menyebabkan kanker kulit dan penuaan dini.

Mereka juga lebih mudah mendapatkan vitamin D dari sinar UV. Vitamin D dapat membantu tubuh untuk mengatur suhu tubuh dan meningkatkan sirkulasi darah ke bagian tubuh yang terpapar suhu dingin.

Dari segi warna kulit, orang berkulit putih mungkin memiliki sedikit keuntungan dalam beradaptasi dengan suhu dingin daripada orang berkulit gelap.

Namun, warna kulit bukanlah satu-satunya faktor genetik yang memengaruhi toleransi terhadap suhu dingin. Ada juga faktor lain seperti bentuk tubuh, lemak tubuh, dan metabolisme basal.

Faktor Adaptasi Fisiologis

Faktor adaptasi fisiologis adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai respon terhadap lingkungan.

Tubuh manusia memiliki mekanisme untuk menjaga suhu tubuh tetap stabil di sekitar 37 derajat Celsius. Saat terpapar suhu dingin, tubuh akan melakukan beberapa hal untuk menghangatkan diri, seperti:

  • Menggigil ditandai dengan gerakan otot yang tidak disengaja untuk menghasilkan panas.
  • Vasokonstriksi yakni penyempitan pembuluh darah di permukaan kulit untuk mengurangi kehilangan panas.
  • Termogenesis non-gigil diartikan sebagai bentuk peningkatan metabolisme lemak coklat (brown fat) untuk menghasilkan panas.
  • Hormesis ditandai dengan peningkatan produksi hormon stres seperti adrenalin dan kortisol untuk meningkatkan metabolisme dan sirkulasi darah.

Orang yang tinggal di daerah bersuhu dingin cenderung memiliki adaptasi fisiologis yang lebih baik daripada orang yang tinggal di daerah bersuhu hangat.

Misalnya, orang Eskimo atau Inuit yang tinggal di daerah kutub memiliki lemak coklat yang lebih banyak daripada orang Afrika atau Asia. Lemak coklat adalah jenis lemak khusus yang dapat membakar kalori untuk menghasilkan panas.

Orang Eskimo atau Inuit juga memiliki bentuk tubuh yang lebih pendek dan gemuk daripada orang Afrika atau Asia. Bentuk tubuh ini dapat mengurangi luas permukaan tubuh yang terpapar suhu dingin dan meningkatkan rasio volume tubuh terhadap luas permukaan tubuh.

Dari segi adaptasi fisiologis, orang yang tinggal di daerah bersuhu dingin mungkin memiliki keuntungan dalam beradaptasi dengan suhu dingin daripada orang yang tinggal di daerah bersuhu hangat.

Namun, adaptasi fisiologis bukanlah hal yang tetap dan tidak dapat berubah. Adaptasi fisiologis dapat berubah seiring dengan perubahan lingkungan dan gaya hidup.

Faktor Lingkungan

faktor-lingkungan-dingin.jpg.webp

Faktor lingkungan adalah faktor-faktor yang ada di sekitar kita yang dapat memengaruhi toleransi terhadap suhu dingin. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memengaruhi toleransi terhadap suhu dingin adalah:

  • Kelembapan yang dimana udara yang lembap dapat meningkatkan kehilangan panas dari tubuh karena penguapan keringat.
  • Angin yakni kondisi udara bergerak dapat meningkatkan kehilangan panas dari tubuh karena konveksi.
  • Pakaian, yakni ketika menggunakan jaket tebal dan kering dapat mengurangi kehilangan panas dari tubuh karena konduksi dan radiasi.
  • Makanan, membantu mennjaga suhu tubuh jika mengkonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat, protein, dan lemak dapat meningkatkan produksi panas dari tubuh karena termogenesis makanan.
  • Minuman, yakni dengan mengkonsumsi minuman yang hangat dapat meningkatkan suhu tubuh dan memberikan rasa nyaman. Namun, minuman yang mengandung alkohol atau kafein dapat menurunkan toleransi terhadap suhu dingin karena menyebabkan vasodilatasi atau pelebaran pembuluh darah di permukaan kulit.

Dari segi faktor lingkungan, orang yang memiliki akses ke pakaian, makanan, minuman, dan tempat tinggal yang hangat mungkin memiliki keuntungan dalam beradaptasi dengan suhu dingin daripada orang yang tidak memiliki akses tersebut.

Namun, faktor lingkungan bukanlah hal yang pasti dan tidak dapat diprediksi.

Faktor lingkungan dapat berubah sewaktu-waktu dan mempengaruhi toleransi terhadap suhu dingin secara tiba-tiba.

Oleh karena itu, setiap orang memiliki kemampuan beradaptasi dengan suhu dingin yang berbeda-beda.

Baca Juga