POJOKNULIS.COM - Saat ini banyak sekali muda-mudi baik millenial maupun gen z yang sangat tertarik untuk menjadi content creator. Baik di platform yang bersifat visual, audio, hingga audio-visual.
Namun sayangnya, antusiasme ini sering kali terkendala karena kurangnya ide kreatif dari para content creator sehingga tidak bisa bersaing dengan baik bahkan ada yang stuck.
Dalam industri kreatif, kreativitas memang menjadi ruh yang sama sekali tidak bisa ditawar.
Bagi pemula biasanya akan menggunakan metode amati, tiru, modifikasi (ATM) sehingga konten-konten yang dibuat mudah diterima masyarakat karena sedang popular dan menjadi trending.
Tapi sayangnya kondisi ini tidak akan bertahan lama karena tren selalu berubah dan bila tidak memiliki kekhasan, seorang content creator akan mudah dilupakan dan ditinggalkan.
Hal ini dipengaruhi salah satunya karena daya kreatif yang sudah tidak bersaing lagi.
Banyak kita jumpai di YouTube misalnya, dimana ada channel yang memiliki subscriber hingga jutaan tetapi kontennya hanya ditonton puluhan ribu bahkan hanya ribuan kali.
Ada juga banyak kasus dimana seseorang mencoba untuk terjun ke dunia digital tetapi pikirannya buntu untuk mencari ide konten. Dalam kondisi seperti itu, berpikir lateral bisa menjadi solusinya.
Secara umum, dalam menyelesaikan sebuah masalah manusia terbagi menjadi dua jenis cara berpikir, pertama adalah linier dan yang kedua adalah lateral.
Berpikir linier adalah cara berpikir yang mengikuti sistem yang sudah ada, gagasan dan ide yang sudah terbukti, urut, sistematis, dan sejenisnya.
Cara berpikir seperti ini terbukti ampuh untuk menyelesaikan persoalan di dunia akademik, tetapi tidak begitu cocok digunakan dalam industri kreatif.
Sebaliknya, dalam industri kreatif, seseorang akan semakin piawai membuat konten-konten menarik bila mampu berpikir secara lateral, yaitu berpikir 'ke samping', tidak terikat dengan gagasan yang sudah ada, di luar sistem yang popular, dan sejenisnya.
Sebagai contoh, banyak brand smartphone di dunia yang berusaha menghilangkan kamera depan di smartphone agar bisa terlihat lebih estetis.
Berbagai cara sudah dilakukan mulai dari mengecilkan poni smartphone hingga membuat kamera under-display. Namun kesemuanya adalah produk dari cara berpikir linier.
Berbeda dengan yang lain, perusahaan Apple dengan iPhone-nya memilih berpikir lateral.
Ketimbang kesulitan mencari cara menghilangkan kamera depan dari layar, mereka justru mengakalinya dengan menjadikan area kamera depan lebih fungsional.
Dari yang tadinya dianggap mengganggu, menjadi sesuatu yang justru menjadi nilai tambah untuk estetika smartphone-nya yang kemudian diberi nama dynamic island.
Ada banyak hal dalam hidup yang terkadang kita harus berhenti berpikir linier dan mulai berpikir lateral untuk bisa mencari jalan keluar yang sebelumnya terkesan tidak ada.
Dalam pembuatan konten pun demikian, baik itu tulisan, video, audio, dan lain-lain. Content creator jika mampu berpikir secara lateral ia bisa menciptakan konten yang orisinil, berbeda dengan kebanyakan dan bahkan lebih menarik.
Windah Basudara, salah satu YouTuber sensasional dalam tiga tahun terakhir bisa menjadi contoh bagaimana dia mampu berpikir lateral dan menggaet pasar dengan baik.
Streamer di YouTube kebanyakan terlalu monoton dan hanya sekedar berinteraksi dengan viewers.
Namun Brando (panggilan pemilik channel Windah Basudara) memberikan racikan lain berupa gimmick-gimmcik dan editing yang menghibur sehingga stream yang berlangsung tidak hanya ada tanya-jawab antara streamer dan viewers, melainkan ada konten hiburan ekstra dari streamer yang membuat viewers selalu menunggunya.
Secara singkat, berpikir lateral sangat memudahkan kita berpikir lebih kreatif dari sebelumnya. Mampu berpikir ke samping dan melihat celah-celah yang belum terlihat orang lain.
Jika usaha kreatif Anda belum mencapai hasil yang maksimal, coba renungkan kembali, apakah cara berpikir Anda selama ini hanya linier, atau sudah lateral.(*)