Hukum Diceraikan saat Sedang Hamil dari Perspektif Islam dan Negara

POJOKNULIS.COM - Perceraian adalah hal yang tidak diharapkan oleh setiap pasangan yang telah menikah. Namun, terkadang ada kondisi yang membuat suami atau istri merasa tidak bisa lagi hidup rukun dalam rumah tangga dan memutuskan untuk berpisah.  

Ada banyak faktor yang membuat pasangan suami istri memilih jalan perceraian. Bisa jadi karena masalah ekonomi hingga yang terburuk adalah kasus perselingkuhan. 

Kejadian seperti itu membuat salah satu pasangan enggan mempertahankan rumah tangga hingga memilih untuk berpisah. Beberapa bahkan ada yang tetap memutuskan bercerai meski sedang dalam masa kehamilan. 

Lantas, apakah perceraian saat wanita dalam keadaan hamil diperbolehkan? Apakah hal ini sah menurut hukum Islam dan hukum negara? 

Perceraian saat Hamil dalam Hukum Islam 

Dalam Islam, perceraian (talak) dibagi menjadi dua macam, yaitu talak sunni dan talak bid'i. Talak sunni merupakan talak yang dilakukan sesuai dengan prosedur syariat, yaitu dilakukan saat istri dalam keadaan suci (tidak haid atau nifas) dan belum disetubuhi oleh suami, atau dilakukan saat istri sedang hamil.  

Sedangkan untuk talak bid'i diartikan sebagai talak yang tidak sesuai dengan prosedur syariat, yaitu dilakukan saat istri sedang haid atau nifas, atau dilakukan setelah disetubuhi oleh suami. 

Menurut pendapat mayoritas ulama, termasuk mazhab Syafi'i, perceraian saat hamil tidak dilarang dan tidak termasuk talak bid'i. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

"Rujuklah kepada istrimu yang sudah kamu cerai itu. Tetaplah bersamanya sampai dia suci dari haid, lalu haid kembali kemudian suci lagi. Setelah itu silakan kalau kamu mau mencerainya: bisa saat istri suci sebelum kamu gauli atau saat dia hamil." 

Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW membolehkan perceraian saat hamil sebagai salah satu waktu yang sah untuk melakukan talak sunni. Selain itu, Allah SWT berfirman dalam surat At-Thalaq ayat 1: 

"Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya." 

Ayat ini menegaskan bahwa perceraian harus dilakukan pada waktu yang dapat menghitung idah (masa tunggu) bagi istri. Salah satu waktu yang dapat menghitung idah adalah saat istri hamil, karena idahnya adalah sampai melahirkan.

Oleh karena itu, perceraian saat hamil sah menurut hukum Islam dan tidak melanggar aturan syariat agama. 

Perceraian saat Hamil dalam Hukum Negara 

Di Indonesia, ada dua aturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan dan perceraian, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Kedua aturan ini sejalan dengan hukum Islam dalam hal perceraian saat hamil.  Menurut UU Perkawinan Pasal 39 ayat 2, perceraian boleh diajukan oleh suami atau istri dengan alasan-alasan tertentu, antara lain: 

  • Jika pasangan terbukti berbuat zina, atau memiliki kebiasaan mabuk-mabukan, berjudi, mengonsumsi narkoba, atau tindakan lain yang dianggap sulit untuk disembuhkan
  • Jika pasangan pergi selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin dengan tanpa disertai alasan atau penyebab lain yang diluar kehendaknya
  • Jika pasangan terbukti melakukan kejahatan dan memperoleh hukuman penjara 5 tahun atau lebih
  • Jika pasangan melakukan tindakan penganiayaan berat atau kejam yang membahayakan nyawa
  • Jika pasangan memperoleh cacat tubuh atau penyakit yang membuat dirinya tidak bisa menjalankan kewajiban
  • Terjadi perselisihan antara suami dengan istri yang sulit untuk diselesaikan sehingga keduanya tidak bisa hidup rukun dalam rumah tangga. 

Dari alasan-alasan di atas, tidak ada yang menyebutkan bahwa perceraian saat hamil tidak boleh dilakukan. Jadi, perceraian saat hamil sah menurut UU Perkawinan asalkan ada alasan yang kuat dan dibuktikan di pengadilan. 

Menurut KHI, ada 8 alasan yang dapat dipakai sebagai landasan pengajuan gugatan cerai oleh suami atau istri kepada pasangannya, yaitu: 

  • Zina
  • Kecanduan minuman keras, narkoba, judi, dan sejenisnya
  • Meninggalkan kewajiban suami atau istri selama 2 tahun berturut-turut tanpa alasan yang sah
  • Mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih setelah perkawinan berlangsung
  • Melakukan kekerasan fisik atau mental terhadap pasangan
  • Menderita penyakit yang menghalangi pelaksanaan kewajiban suami atau istri
  • Tidak adanya kerukunan hidup antara suami dan istri
  • Tidak adanya nafkah dari suami kepada istri selama 3 bulan berturut-turut tanpa alasan yang sah 

Dari alasan-alasan di atas, juga tidak ada yang menyebutkan bahwa perceraian saat hamil tidak boleh dilakukan. Jadi, perceraian saat hamil sah menurut KHI asalkan ada alasan yang kuat dan dibuktikan di pengadilan.  

Dari tinjauan hukum Islam dan hukum negara, dapat diketahui bahwa perceraian saat hamil tidak dilarang dan sah dilakukan asalkan ada alasan yang kuat dan dibuktikan di pengadilan.

Namun, perceraian adalah hal yang harus dihindari sebisa mungkin karena akan berdampak buruk bagi kedua belah pihak, terutama bagi anak yang belum lahir.

Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk bercerai, sebaiknya suami dan istri mencoba untuk menyelesaikan masalah mereka dengan cara yang baik-baik, seperti berdialog, berkonsultasi, bermediasi, atau berdamai.

Bila perlu pasangan berkonsultasi kepada psikolog untuk bisa menemukan solusi dan jalan terbaik mengenai rumah tangga.

Baca Juga
Tentang Penulis
Artikel Menarik Lainnya