POJOKNULIS.COM - Bulan Ramadhan atau bulan puasa selalu disambut gembira oleh kalangan Muslim di Indonesia. Kegembiraan itu semakin terasa karena mayoritas warga Negara Indonesia memang menganut agama Islam. Tak sedikit kegiatan yang sudah menjadi tradisi jelang Ramadan dilakukan oleh warga Indonesia di berbagai daerah. Tradisi tersebut tetap lestari meski saat ini sudah memasuki era digital sekalipun.
Berikut catatan yang dihimpun pojoknulis.com tentang beragam tradisi menyambut ataupun saat Ramadhan yang ada di tanah air. Tradisi itu dilakukan secara turun menurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Beberapa diantaranya ialah nyadran di Jawa, padusan yang ada di Jawa Tengah dan Yogyakarta, maupun kurumasan yang dilakukan warga Jawa Barat.
Semua tradisi itu dilakukan dengan penuh kegembiraan, unik serta memiliki makna yang dalam. Tradisi itu menggambarkan ikhtiar untuk menyucikan diri, menjaga silaturahmi dan saling bermaafan jelang Ramadhan.
Tradisi Padusan
Tradisi Padusan banyak dilakukan warga Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dalam tradisi ini, warga mandi secara bersama-sama di sumber mata air ataupun sungai yang bisa untuk berendam. Asal kata padusan yakni adus yang artinya mandi. Warga mandi sebagai pertanda membersihkan diri.
Tidak hanya membersihkan raga atau badan, namun sekaligus membersihkan jiwa atau hati. Ini dimaknai agar saat menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan, warga sudah benar-benar dalam kondisi bersih jiwa dan raga.
Saat ini, tradisi tersebut bahkan sudah menjadi salah satu komoditas wisata. Banyak pengunjung yang datang dari luar area Jawa Tengah maupun Yogyakarta. Beberapa diantara pengunjung itu, bahkan ikut padusan bersama warga. Padusan diikuti berbagai kalangan, baik tua maupun muda, anak-anak dan dan dewasa, laki-laki maupun perempuan. Ada keriangan dalam ritual tersebut.
Tradisi Kuramasan
Tradisi kuramasan adalah tradisi mandi yang dilakukan di sungai. Namun, bukan sembarang sungai. Warga melakukan tradisi ini hanya di Sungai Cipandak yang ada di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Yang melakukan tradisi ini pun lebih banyak warga yang berada du kampung adat Miduana, yang ada di Cianjur. Warga Miduana memang terbilang teguh memegang tradisi Sunda. Termasuk dalam kegiatan keseharian mereka.
Tradisi Kuramasan dilakukan dalam waktu yang khusus, yakni menjelang datangnya bulan Ramadhan, tepatnya satu hari sebelum masuk bulan Ramadhan. Mereka menjalani Kuramasan sejak pagi hingga menjelang datangnya waktu Shalat Dhuhur. Kuramasan bisa dilakukan sendiri-sendiri, secara berkelompok, ataupun massal. Warga juga peduli terhadap kebersihan Sungai Cipandak. Tak hanya mandi, warga pun membersihkan sampah yang ada di area sungai.
Selepas mandi dan membersihkan sungai, warga lalu makan bersama-sama di tepi sungai. Kegiatan makan bersama ini dikenal dengan nama mayor di tepi sungai.
Tradisi Mohibadaa
Warga Gorontalo memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kesehatan kulitnya. Setidaknya itu terlihat dari salah satu tradisi warga setempat jelang datangnya bulan suci Ramdhan. Mereka memiliki ritual yang disebut dengan Mohibadaa. Tradisi ini ialah dengan melakukan kegiatan membalurkan berbagai macam rempah yang memiliki khasiat untuk merawat kulit. Ramuan rempah tersebut dibalurkan ke kulit wajah mereka. Jadi semacam perawatan kulit wajah dengan memakai masker.
Ramuan rempah tersebut terdiri dari tepung beras, kencur atau humopoto, kunyit atau alawahu, dan bungale atau bangle. Ramuan rempah yang berfungsi sebagai bahan masker kulit wajah ini memiliki fungsi untuk membuat kulit lebih sehat. Selain itu juga untuk mengencangkan kulit, menghilangkan kerutan, kulit terlihat berseri dan tidak kering.
Ramuan ini juga sudah banyak dijual oleh para pedagang di sana dengan paket komplit. Dengan begitu, warga yang hendak melaksanakan tradisi Mohibadaa, tak perlu repot untuk berbelanja satu demi satu bahan yang diperlukan.
Tradisi Mohibadaa sejatinya juga dilakukan warga Gorontalo saat hendak datangnya bulan Ramdhan saja. Warga di sana terbiasa melakukannya. Namun, menjelang datangnya bulan Ramadhan, mayoritas warga Muslim di Gorontalo melakukan ritual ini.
Mereka berusaha agar kulit wajah tidak menjadi kering saat menajalani ibadah berpuasa. Apalagi, cuaca di Gorontalo terbilang panas, dan biasanhya terasa lebih panas saat melakoni ibadah puasa.
Tradisi Menyantap Telur Ikan
Ada salah satu tradisi jelang datangnya bulan Ramadhan yang terbilang unik namun sangat menyenangkan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Warga di Kabupaten Kendal, khususnya masyarakat Kaliwungu, hampir dipastikan akan ramai-ramai belanja telur ikan mimi saat akan datang bulan Ramadhan. Warga memiliki tradisi menyantap atau makan telur ikan Mimi ketika menghadapi datangnya Ramadhan.
Tak perlu bingung di mana mencari telur ikan tersebut. Saat Ramadhan hampir tiba, Alun-alun Kabupaten Kendal disulap menjadi semacam pasar tiban. Pedagangnya ialah warga yang semuanya menjual ikan telur Mimi.
Warga Kaliwungu memiliki kepercayaan jika telur ikan Mimi, pada zaman dulu, biasa menjadi makanan para tokoh yang menyebarkan Islam. Ikan Mimi sendiri tergolong ikan air laut, yang bentuknya menyerupai ikan Pari. Bukan cuma tradisi menyantap telur ikan Mimi, warga Kaliwungu pun memiliki tradisi yang dinamai tukuder.
Tradisi ini ialah berbelanja makanan jelang Ramadhan. Tukuder menjadi semacam tradisi untuk menyiapkan bekal menjalani ibadah puasa.
Tradisi Bakar Batu
Tradisi unik menjelang datangnya bulan Ramadhan juga dimiliki masyarkat Muslim yang ada di Jayapura, Papua. Mereka menyambut datangnya Ramadhan dengan melakukan tradisi bakar batu.
Bukan sembarang bakar batu tanpa tujuan. Batu yang dibakar itu harus sampai panas benar. Kemudian, di atas batu tersebut diletakkan berbagai bahan makanan, seperti umbi-umbian atau daging. Baik daging ayam, sapi, dan kambing. Setelahnya, di atas tumpukan berbagai bahan makanan tersebut ditumpuklah batu panas lagi. Tumpukan batu dan makanan itu terus dipanasi hingga makanan yang ada dipastikan matang dan siap untuk disantap.
Warga melaksanakan tradisi itu beramai-ramai. Setelah makanan tersebut matang, kemudian makanan disajikan untuk disantap bersama. Tradisi bakar batu dijadikan wahana atau kesempatan untuk bersilaturahmi sekaligus saling meminta maaf sebelum warga menjalani ibadah puasa.
Tradisi Malamang
Tradisi Malamang ialah tradisi memasak Lemang. Tradisi ini khas dilakukan oleh warga Sumatra Barat. Nasi Lemang ialah nasi yang dibuat dengan berbahan dasar beras putih dan santan. Kedua bahan itu lantas dimasukkan ke dalam bambu. Nah, setelah dimasak dan siap disantap, maka warga akan berkumpul bersama dan menimatinya jelang Ramdhan. Kegiatan ini sekaligus sebagai ajang silaturahmi.
Tradisi Malamang menandakan budaya gotong-royong yang ada di Sumatra Barat. Tradisi ini tak bisa dikerjakan sendirian. Diperlukan kerjasama, misalnya, ada mereka yang bertugas mencari bambu, membuat adonan lemang, memasaknya, hingga mereka yang mencari kayu bakar.
Tradisi Arwah Jamak
Tradisi Arwah Jamak sudah ada sejak era Sunan Kalijaga. Tradisi ini dilakukan warga Demak menjelang datangnya Ramadhan, atau di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Tradisi ini ialah warga bersama-sama membacakan doa untuk orang yang sudah meninggal.
Dalam tradisi ini, biasanya, warga yang akan mengirimkan doa untuk kedua orang tua atau kerabatnya, maka akan membawa uang untuk bersedekah. Uang itu kemudian dikumpulkan dan diberikan kepada anak yatim.
Tradisi Meugang
Tradisi Meugang itu diawali dengan penyembelihan hewan ternak seperti kambing atau sapi. Setelah disembelih, daging hewan itu kemudian dimasak. Warga membawa daging kambing atau sapi yang telah dimasak itu ke masjid. Di sana, warga menyantapnya bersama-sama.
Tradisi ini biasanya dilaksanakan tiga kali dalam satu tahun. Yakni saat menjelang datangnya bulan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Saat Ramadhan, Tradisi Meugang bisanya digelar satu hari menjelang datangnya bulan suci Ramadhan.
Tradisi Meugang dimulai sejak zaman Kerajaan Aceh yakni tahun 1607 M-1636 M. Warga percaya, dalam tradisi Meugang, rezeki yang diperoleh selama satu tahun itu harus disyukuri dengan cara berbagi yakni makan bersama-sama.
Tradisi Nyorog
Tradisi Nyorog ialah tradisi yang dikerjakan masyarakat Betawi. Menjelang datangnya bulan puasa, masyarakat Betawi saling mengirim bingkisan. Isinya beraneka rupa. Ada yang mengirimkan Sembako, daging kerbau, ataupun ikan bandeng. Ada satu lagi menu yang terdapat di dalam bingkisan itu, yakni makanan khas Betawi berupa sayur gabus pucung.
Warga percaya jika tradisi Nyorog digunakan sebagai salah satu alat untuk mengingatkan sebentar lagi Ramadhan akan hadir, sekaligus sebagai alat untuk bersilaturahmi.
Tradisi Megengan
Tradisi Megengan ada di Provinsi Jawa Timur. Megengan itu berasal dari kata megeng yang dalam bahasa setempat diartikan menahan. Warga melaksanakan tradisi Megengan menjelang datangnya bulan Ramadhan. Caranya, warga membawa makanan ke mushola atau masjid untuk dimakan bersama, semacam kenduri. Ada satu jajanan yang khas di tradisi Megengan, yakni adanya kue apem.
Asal kata kue apem dipercaya berasal dari bahasa Arab yakni Afwan, artinya maaf atau ampunan. Tradisi megengan memiliki makna filosofis, yakni menahan diri selama ramadhan dan memohon ampunan kepada Yang Maha Kuasa.
Tradisi Dugderan
Tradisi Dugderan banyak dikerjakan warga Semarang, Jawa Tengah menjelang datangnya bulan Ramadhan. Asal kata dugederan diambil dari suara bedug yang ditabuh yakni suara dug dan suara der. Di Semarang tradisi ini dilakukan oleh tiga etnis yang mendominasi, yakni etnis Jawa, Tionghoa, dan Arab. Ada akulturasi budaya di situ.
Dalam tradisi dugderan, warga menabuh bedug bersama-sama jelang datangnya bulan Ramadhan. Biasanya sehabis salat Ashar sehari jelang bulan Ramadhan. Ada ikon berupa Warak Ngendhog saat tradisi Dugderan. Warak Ngendhog ialah replika dari hewan berkaki empat dengan kepala naga.
Tradisi Nyadran
Tradisi Nyadran dikenal juga dengan ruwahan. Tradisi ini banyak dilaksanakan masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta. Biasanya, nyadran dilaksanakan sebulan sebelum Ramadhan datang. Biasanya, tradisi Nyadran dilaksanakan dengan kegiatan membersihkan makam terutama makam kerabat. Selain itu, nyadran juga diadakan sebagai bentuk kerja bakti membersihkan makam desa yang setelah itu dilanjutkan dengan kegiatan makan bersama. (*)