POJOKNULIS.COM - Bicara soal sandwich, hal apa yang pertama kali terlintas dibenak ketika mendengar istilah tersebut? Tumpukan roti yang di tengahnya terdapat isi daging atau cokelat yang menggiurkan, sehingga ketika kita memakannya dalam satu atau beberapa suapan maka segala kelaparan hanyalah sejarah di detik-detik lalu yang dilupakan?
Secara makna sebetulnya, memang demikianlah wujud asli dari sebuah sandwich. Tapi tahu kah kita? Bahwa istilah ini menjadi makna yang bukan sebenarnya, untuk pertama kali pada tahun 1981.
Kala itu, seorang profesor sekaligus direktur praktikum University Kentucky, Lexington, Amerika Serikat, Dorothy A. Miller, memperkenalkan perihal Generasi Sandwich yang memiliki arti generasi orang dewasa yang dalam hidupnya dibebankan tanggung jawab kehidupan 3 generasi, yakni orang tua, diri sendiri, dan anaknya.
Jika kita amati, situasi ini, mirip dengan sandwich yang isiannya terhimpit oleh dua roti. Dua roti yang saling menghimpit ini, dianalogikan sebagai orang tua (generasi atas) dan anak (generasi bawah).
Sementara isiannya, yang terhimpit dianalogikan seperti diri sendiri, yang pengap dan hampir dimakan oleh situasi.
Dilansir dari berbagai sumber, umur perempuan/laki-laki yang rawan menjadi generasi sandwich berkisar antara 30 sampai 50 tahun.
Ada pula, yang lebih spesifik mengkategorikan generasi sandwich menjadi 3, berdasarkan peran yang ia emban, di antaranya adalah:
1. The Open Faced Sandwich Generations
Situasi ini digambarkan ketika, seseorang yang bukan secara pekerjaan profesional berkewajiban dalam tuntutan kultural, merawat dan mengasuh manusia berusia lanjut.
2. The Traditional Sandwich Generations
Situasi ini menimpa generasi yang berusia 40 sampai 50 tahun yang terhimpit oleh tanggungan orang tua usia lanjut dan anak-anak yang memerlukan tunjangan finansial, sehingga tanggungan tersebut diejawantrahkan kepadanya.
3. The Club Sandwich Generations
Situasi ini dialami oleh generasi berusia 30 sampai 60 tahun yang terhimpit tanggungan cucu, anak, dan orang tua.
Duduk perkara generasi sandwich sebetulnya tidak bisa dicampur adukan dengan dogma agama, karena hal ini hanyalah akan menimbulkan statement yang paradoksial. Ujaran untuk berbakti kepada orang tua adalah merupakan ajaran kebaikan universal yang diserukan oleh agama-agama monotheis maupun agama yang lain di dunia ini.
Hal-hal diatas, baru kita bedah dari sudut pandang bebannya saja, ada hal-hal terselubung lain yang lebih krusial untuk bisa dibedah lebih lanjut.
Seperti halnya faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya fenomena ini. Meskipun umunya, polarisasi ini telah tertebak, faktor utamanya adalah karena faktor ekonomi sehingga melahirkan kegagalan finansial yang terulang-ulang.
Edukasi terkait generasi sandwich sebetulnya tidak berfokus terhadap bertentangannya ajaran berbakti kepada orang tua dan kewajiban memenuhi kebutuhan orang tua, melainkan perihal bagaimana penanggulangan terputusnya rantai toxic yang membelenggu peradaban manusia dari sudut pandang stabilitas ekonomi.
Lantas, bagaimana cara memutus rantai generasi sandwich? Simak ditulisan berikutnya. (*)