Instagram Menjadi Platform Kebangkitan 'Era Kuning' Menjelang Pesta Demokrasi

POJOKNULIS.COM - Dewasa ini, Instagram kerap dihadirkan dengan buzzer-buzzer yang seakan kembali membangkitkan era kuning (jurnalisme) yang mengagungkan sensasionalitas dan kebenaran yang jelas.

Hampir seluruh isi konten di Instagram saya adalah persoalan terkait Pemilu 2024. Sungguh tak ada bosannya jika alarm tentang isu Pemilu itu terus mengiang dalam layar gadget saya.

Bak gebetan yang selalu tidak lupa akan jam makan kekasihnya, notifikasi itu terus saja bermunculan memenuhi kanal Instagram saya, mulai dalam ranah for your page (fyp) sampai dengan obrolan panas di direct messengge (DM).

Adu argumen, perbedaan pilihan, sampai dengan lemparan pembelaan mengenai preferensi capres, menjadi semacam ritual masyarakat yang terus mengabadi dalam memeriahkan kontestasi pemilu ini -Tentunya yang menjerumuskan kepada nuansa propaganda.

Yah, namanya juga pesta (demokrasi), nggak seru dong kalo nggak ribut hehe.

Instagram dan Isu Pemilu

Dewasa ini, era media baru datang dengan menghadirkan kecepatan dan ketidakterbatasan jarak dalam penyebaran informasi dan komunikasi. Hal itu ditandai dengan adanya digitalisasi yang semakin merambah di seluruh lapisan masyarakat.

Aktivitas seperti pemberitaan kejadian-kejadian yang aktual sampai dengan komunikasi bersama teman, mulai dikemas ke dalam bentuk yang lebih sederhana.

Hari ini, orang-orang tidak perlu lagi mencari bahkan membeli koran untuk sebatas mengetahui berita apa sedang terjadi, atau jauh-jauh mengunjungi rumah kerabat untuk sekadar bertanya kabar. Semua hal itu cukup dilakukan melalui ruang digital saja.

Di masa pemilu ini, kehadiran digitalisasi kerap dimanfaatkan untuk menunjang segala aktifitas yang berkaitan dengannya.

Melihat zaman yang semakin canggih, informasi dan komunikasi tentang Pemilu tidak hanya dilakukan di media konvensional saja, tetapi juga dilakukan di media sosial.

Uniknya, Sejak Pemilu tahun 2012, media sosial sudah mulai digunakan sebagai sarana politik, khususnya pada Pemilihan Gubernur di DKI Jakarta.

Pemanfaatan media sosial ini juga digunakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Kota Bekasi dalam merangkul dan meningkatkan partisipasi generasi milenial pada Pemilu 2019. Al hasil, jumlah partisipan pada generasi milenial tercatat terus mengalami peningkatan sejak 2004 sampai Pemilu 2019 lalu.

Berbicara mengenai meda sosial, sepanjang 2022, Instagram dinobatkan menjadi platform dengan jumlah pengguna terbanyak kedua di Indonesia setelah whatsapp.

Menurut data dari Global Web Index (GWI), jumlah pengguna Instagram di Indonesia mencapai pada presentase 86,7% dengan usia 16-64 tahun dari total pengguna Internet di Indonesa.

Banyaknya fitur yang dimiliki serta tingginya jumlah pengguna Instagram yang berusia di atas 16 tahun, pastinya akan sangat menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu.

Apalagi dibersamai dengan menjelangnya masa peralihan pemimpin di 2024 ini. Tentu dengan segala cara, para pihak tersebut memanfaatkan Instagram sebagai media untuk menarik suara yang ada.

Ironinya, banyak manipulasi, propaganda, sampai dengan penyebaran hoaks dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dengan tujuan untuk mendukung maupun menjatuhkan kontestan Pemilu.

Menurut Sastramidjaja dan Wijayanto (2022), sejak tahun 2019 media sosial sudah mulai digunakan sebagai manipulasi opini serta propaganda elit, dan hal itu diperkirakan akan terus meningkat.

Hasilnya, pada 28 November 2023 sampai 2 Januari 2024, Bawaslu melaporkan bahwa terdapat 204 konten pelanggaran Pemilu yang terjadi di media sosial, sedangkan yang terbanyak terjadi di Instagram. Hal itu tentu tidak lepas dari pihak-pihak yang barangkali hari ini kita sebut sebagai “buzzer”.

Era Kuning

Pada awalnya, buzzer digunakan sebagi profesi untuk mempromosikan suatu perusahaan.

Akan tetapi, saat ini buzzer mulai dimanfaatkan dalam bidang politik dengan mengalihfungsikan tugas mereka menjadi penggiring opini, menyebar hoaks, dan segala tugas yang berorientasi untuk mempromosikan pihak tertentu dalam politik.

Peristiwa ini seakan membawa saya Kembali ke beberapa dekade yang lalu, yakni pada masa “Jurnalisme Kuning”.

Istilah ini muncul lantaran persaingan persurat kabaran antara Pulitzer dan Hearst di Amerika pada tahun 1895-an.

Dalam persaingan tersebut, lahirlah berita-berita yang lebih mengutamakan sensasionalitas untuk menarik minat para pembaca.

Tak jarang jika berita yang dihasilkan tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

Hal ini dibuktikan dengan munculnya berita tentang “Ketegangan Spanyol-Amerika” yang kemudian menciptakan terjadinya peperangan. Padahal pada kenyataannya, tidak ada ketegangan sama sekali diantara keduanya.

Di Indonesia sendiri, masa “Jurnlisme Kuning” terjadi di era demokrasi liberal. Saat itu, fungsi surat kabar lebih didominasi sebagai alat untuk menyuarakan kepentingan partai.

Oleh karenanya, tak jarang jika antara satu koran dengan koran lainnya saling terlibat dalam perang berita. Tentunya peperangan tersebut diwarnai dengan sensasionalitas yang terkesan memprovokasi dan menyerang lawan politik.

Kebangkitan Era Kuning

Hari ini, semua orang bisa dengan bebas bersuara, semua orang bisa dengan bebas mendengarkan suara.

Suara yang pada awalnya hanya terwakilkan oleh surat kabar, atau yang Moh. Hatta sebut sebagai “Anggota Perasaan Umum”, kini bisa diwakilkan oleh setiap orang melalui media sosial.

Konten-konten yang setiap hari mewarnai layar Instagram saya, baik dengan dalih pembelaan salah satu kontestan Pemilu, sampai dengan pemberitaan hoaks, menjadi salah satu alasan saya menyebut Instagram sebagai salah satu platform kebangkitan era kuning.

Yah, hal itu dikarenakan banyaknya akun-akun yang menyajikan konten untuk sekedar menyuarakan kepentingan kontestan.

Juga karena perdebatan panas saya di direct messenger (DM) dengan teman, yang padahal hanya saling melempar argumen terkait paslon siapa yang lebih baik. Meskipun terkadang sama-sama tahu bahwa argument itu belum tentu benar.

Tapi, saya tidak tahu apakah istilah ini bisa menjadi representasi para pembaca atau tidak. Yang pasti, hanya sebutan “Kebangkitan Era Kuning” saja yang bisa saya hadirkan untuk mendeskripsikan peristiwa permedia sosialan yang tengah terjadi menjelang pesta demokrasi di tahun ini.

Baca Juga