Nasib Media Cetak Indonesia di Era Disrupsi Digital

POJOKNULIS.COM - Sekitar 3 tahun terakhir media cetak mengalami tantangan yang begitu berat. Mulai dari era disrupsi digital sampai dengan kondisi pandemi yang merubah mobilitas kehidupan manusia, salah satunya dari segi pencarian informasi.

Migrasi manusia dalam cara memperoleh informasi ini menyebabkan dampak signifikan, terutama bagi media cetak. Dalam perkembangan zaman yang dinilai dinamis ini, media cetakpun mengalami hal yang sama, yaitu mengalami pasang surut dari segi perolehan pembacanya.

Hal ini dibuktikan dari survei Nielsen Consumer & Media View (CMV) yang dilakukan di 11 kota pada kuartal III tahun 2017. Yang mana pada saat itu terdapat 8% atau sekitar 4,5 juta orang. Sedangkan dari jumlah tersebut 83% adalah pembaca koran.

Sayangnya pada akhir triwulan IV tahun 2018, kondisi pembaca semakin menurun hingga mencapai angka di bawah 400 ribu. Kondisi yang kian menurun ini disebabkan oleh konsumen yang cenderung memilih media yang lebih mudah dan cepat untuk diakses, seperti halnya media digital.

Layaknya pasang surut, media cetak pada tahun 2020 menilik harapan dalam perolehan iklan. Terbukti dari hasil survei Nielsen yang menyebutkan bahwa pada tahun 2019 perolehan iklan mengalami pertumbuhan pada angka 2,1 juta dan kian meningkat menjadi 2,6 juta pada tahun 2020.

Berkaca pada Sejarah

“Sejarah berulang dengan sendirinya, tetapi dalam penyamaran yang begitu licik…”-Sydney J. Harris

Media cetak tak lepas dari kejurnalistikan atau seni dalam mencari, mengolah, sampai dengan menyampaikan informasi.

Namun yang menjadi permasalahan di sini ialah, apakah disrupsi ini akan membunuh media cetak? Ataukah media cetak masih dapat survive dari tantangan disrupsi digital?

Maka berkaca pada sejarah merupakan hal yang bijak untuk menangkal tantangan yang ada. Melihat bahwa kegiatan jurnalisme dari dulu sampai saat ini selalu mengalami perubahan. Maka perubahan itu merupakan catatan ibrah yang didapat karena mempelajari sejarah.

Sejatinya kegiatan jurnalisme yang kita lihat hari ini sangatlah berbeda dibandingkan dengan masa lampau. Pada era sebelum masehi orang-orang sangatlah sulit mendapatkan informasi-informasi.

Pada saat itu para pejabat Romawi mencatat di annales (papan tulis yang digantung di serambi rumahnya) kejadian-kejadian penting yang diketahui. Catatan tersebut merupakan pemberitahuan kepada orang-orang yang lewat dan membutuhkannya.

Pengumuman semacam itu kemudian diteruskan oleh Julius Caesar pada saat kejayaanya (60 SM). Caesar mengumumkan hasil persidangan senat, peraturan-peraturan penting, sampai kejadian sehari-hari kepada rakyatnya.

Hal ini dikenal sebagai acta diurna, sedangkan orang yang menulis disebut dengan diurnari atau diurnarius (hingga saat ini disebut sebagai jurnalis).

Sayangnya, acta diurna ini hanya bertahan sekitar lima abad saja bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Romawi. Kegiatan inipun lalu tergantikan dan terus tergantikan sampai era digital seperti saat ini.

Itulah seputar sejarah dari kejurnalistikan, di mana praktik jurnalistik dari masa lampau hingga saat ini selalu mengalami modifikasi. Namun satu hal penting yang dapat kita petik dari sejarah, bahwasannya hal itu tidak akan merubah sebuah esensi bahwa jurnalistik akan hilang.

Nasib Media Cetak dan Strategi yang dilakukan

Menghadapi era disrupsi dan perkembangan digital membuat media cetak terbagi menjadi dua macam, yaitu mereka yang harus tunduk dengan digitalisasi atau mereka yang tetap tahan banting dengan menciptakan berbagai strategi untuk mempertahankan bisnis mereka.

Adapun strategi yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Membangun hubungan dengan pemangku kepentingan

Sebagai contoh adalah media Solopos di Surakarta. Di mana pada tahun 2021 mengadakan kegiatan sinergi membangun daerah yang dihadiri oleh stakeholder dan pemangku kepentingan di wilayah tersebut.

Sebagai media, Solopos mengakomodir kepentingan stakeholder dan para pemangku kepentingan lainnya untuk mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang apa yang telah mereka lakukan.

2. Kolaborasi Media sebagai wajah baru konglomerasi

Sebelum sosial media atau lebih tepatnya era digital muncul, arus informasi dikendalikan oleh media khususnya media cetak. Sedangkan setelah munculnya era digital, arus informasi ini justru dikuasai olehnya.

Dengan segala kecepatan dan luasnya jangkauan informasi di era ini, akan sangat sulit bagi media cetak untuk berjalan sendirian. Maka kolaborasi menjadi strategi bagi media untuk tetap bertahan.

3. Integrasi public relation dalam perusahaan

Melihat pertumbuhan pada periklanan di tahun 2020-2021 menunjukan masih adanya harapan bagi media cetak untuk bangkit di era disrupsi ini.

Namun di era digital ini, pemasaran yang dinilai konvensional perlu ditinggalkan, karena hal ini dirasa sudah tidak lagi cukup untuk mewadahi kepentingan klien.

Dalam strategi ini, perusahaan tidak hanya menyajikan produk tulis di media cetak saja. Akan tetapi menawarkan opsi bagi klien untuk dalam periklanan melalui berbagai platform media yang dimiliki perusahaan baik itu media cetak, online, youtube, radio, dan lain-lain.

Baca Juga