POJOKNULIS.COM - Pernahkah Anda merasakan kekhawatiran karena Anda melewatkan undangan ke pesta, melewatkan peluang baru yang cemerlang, bahkan melewatkan postingan sosial media terbaru yang menjadi tren saat ini? Ataukah Anda merasakan kegembiraan ketika Anda melewatkan hal-hal tersebut?
Bagi banyak orang, pengalaman tersebut dapat memicu rasa takut ketinggalan atau yang biasa dikenal sebagai FOMO.
Tidak sedikit juga yang merasakan bahwa pengalaman tersebut dapat memicu kegembiraan dan menikmati ketinggalan dari beberapa peristiwa tertentu, biasa dikenal dengan istilah JOMO.
Apa itu FOMO dan JOMO? Apakah perbedaan di antara mereka?
FOMO memiliki kepanjangan Fear of Missing Out. Istilah FOMO dapat dapat didefinisikan sebagai respons emosional yang dimiliki oleh seseorang terhadap keyakinan bahwa orang lain menjalani kehidupan yang lebih baik, lebih memuaskan, atau bahkan peluang-peluang penting terlewatkan dalam hidupnya.
FOMO disebabkan oleh perasaan cemas terhadap gagasan bahwa pengalaman menarik atau peluang penting tersebut terlewatkan dan tidak diambil. Seseorang akan lebih mungkin mengalami FOMO jika sudah sangat sensitif terhadap ancaman lingkungan sekitarnya, seperti melawan kecemasan sosial, perilaku obsesif atau kompulsif, hingga memiliki trauma emosional di masa lalu.
FOMO dihasilkan oleh amigdala, yaitu bagian otak yang mendeteksi apakah sesuatu merupakan ancaman terhadap kelansungan hidup atau tidak. Bagian otak ini merasakan kesan ditinggalkan sebagai ancaman sehingga menimbulkan stres dan kecemasan dalam diri seseorang.
FOMO bukan sekadar terobsesi atau kecanduan teknologi dan sosial media. FOMO berakar pada kecenderungan baaan yang ada dalam diri seseorang untuk membandingkan diri mereka dengan orang lain secara sosial saat seseorang sedang berusaha untuk lebih memahami siapa diri kita dan tempat kita di dunia.
Adapun beberapa kegiatan yang mungkin dilakukan tanpa sadar sudah menciptakan perasaan FOMO dalam diri sendiri adalah selalu mengecek ponsel, selalu ingin mengetahui gosip terbaru, mengeluarkan uang secara berlebihan untuk membeli hal yang tidak penting agar tidak ketinggalan zaman, dan sulit mengatakan 'tidak' untuk hal yang tidak diinginkan.
Namun, penelitian akhir-akhir ini telah menunjukkan bahwa rasa kehilangan bukanlah suatu hal yang harus selalu ditakuti oleh banyak orang. Akan tetapi, terkadang kehilangan juga dapat menjadi sesuatu yang bisa dinikmati.
Untuk kesehatan mental yang lebih baik tahun ini, cobalah mengubah perasaan FOMO tersebut dan menggantinya dengan perasaan JOMO. JOMO merupakan suatu perasaan yang sangat berkebalikan dengan FOMO.
JOMO memiliki kepanjangan Joy of Missing Out. Istilah tersebut dapat diartikan sebagai respons emosional yang dimiliki oleh seseorang untuk menikmati apa yang mereka lakukan setiap saat tanpa mengkaatirkan apa yang dilakukan oleh orang lain.
JOMO dapat dikatakan sebagai fenomena sosiologis yang merupakan respons terhadap FOMO. FOMO bukanlah suatu hal yang baru, tetapi istilah tersebut telah dilebih-lebihkan oleh teknologi dan sosial media.
Perlu digarisbawahi, meskipun JOMO diartikan sebagai kemudahan melepaskan sesuatu, hal tersebut tidak dapat diartikan sebagai alasan untuk tidak produktif karena melawan ketakutan yang ada tidak hanya dengan mengindari atau melepaskan diri dari dunia.
JOMO lebih mengajak seseorang untuk melupakan semua ketakutan atau kecemasan itu, seperti berhenti bertanya pada diri sendiri setiap lima menit dengan apa yang terjadi di luar jika itu tidak penting.
Ini mengandung petunjuk kewaspadaan, memikirkan tentang saat ini, memfokuskan suatu hal pada apa yang dilakukan, dan tidak memata-matai apa yang dilakukan orang lain melalui lubang intip yang selalu dijangkau oleh sosial media.
Misalnya, Anda bukanlah penggemar berat Band Coldplay, jadi Anda merasa biasa saja atau mungkin baik-baik saja ketika Anda tidak datang ke konser Band Coldplay yang sedang ramai dibicarakan oleh banyak orang di sosial media disertai dengan lagu-lagunya yang sangat hype di manapun.
Membandingkan diri sendiri dengan orang-orang yang tampak lebih baik dalam hal kualitas, pengalaman, atau kemampuan pribadi dapat memberikan harapan dan inspirasi untuk mendorong perbaikan diri.
Namun bagi sebagian orang, perbandingan sosial yang meningkat ini dapat memicu FOMO dengan menyoroti kekurangan yang ada dalam diri sendiri dan dapat memicu evaluasi diri yang berdampak negatif pada kesejahteraan emosional.
Sebaliknya, ketika Anda menerima dan merasa puas dengan apa yang Anda miliki dan mengetahui siapa diri Anda, Anda akan cenderung tidak melakukan perbandingan sosial yang tidak sehat dan lebih mungkin mengalami JOMO.
Oleh karena itu, Anda haruslah mengambil keputusan yang tepat di setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup Anda dengan bijak.